You are currently browsing the tag archive for the ‘mapala’ tag.
Sore itu hampir sama dengan sore lainnya di bulan ramadhan. Kami menanti saat berbuka dengan beberapa teman-teman di Mapala09. Perbedaannya terletak pada tempat serta suasanya. Hari ini, Rabu 24 September 2008 kami telah merencanakan untuk berada disini, anjang sana sekaligus berbuka puasa bersama kawan-kawan yang berada di panti asuhan Chendekia, Jalan Kampus UVRI Lr.3 No. 12, Antang. Read the rest of this entry »
Tak jarang aku dapati pertanyaan dan pernyataan yang terdengar amat sinis melihat aku senang menyapa alam dengan menapakkan jejak untuk mencapai puncak. Tetapi aku tak begitu peduli, aku tetap menyapanya, lagi dan lagi.
“Sudah baca koran hari ini?” Tanya Etta sepulangnya dari kantor.
Seketika aku berbalik ke arah sumber suara, setelah yakin Etta sedang berbicara padaku, aku pun menjawab, “Berita apa?”
“Ada lagi orang meninggal di Gunung Bawakaraeng.”
“Oh…” jawabku seadanya. “Dari kemarin ji ku dengar beritanya, kalau ada yang sakit di pos 8.” Dengan pandangan masih tertuju ke monitor komputer.
“Tau darimana?”
“Dari informanku di Lembanna.”
Berita meninggalnya Adiatma Achmad di posko 8 Gunung Bawakaraeng membuat orang-orang kembali geger. Adi, seorang mahasiswa Teknik Sipil, Universitas Muslim Indonesia angkatan 2006 meninggal dalam perjalanannya, Lintas Gunung Lompobattang – Bawakaraeng. Cuaca yang tidak bersahabat membuat Adi dan 4 rekannya harus menyerah dengan kekuatan alam. Di posko 8 Gunung Bawakaraeng, Adi pun meninggal dan 4 lainnya kritis.
Nasib naas yang menimpa anggota Mapala itu, makin meyakinkan argumen-argumen orang di rumah untuk kontra dengan aktivitas yang ku lakukan beberapa tahun terakhir ini.
“Kau mau nasibmu berakhir seperti itu?” Tanya mereka.
“Kalau memang ajalku meninggal di atas gunung, mau di apa. Kalau ajalku meninggal di tabrak, mau bagaimana? Kalau ajalku di tikam orang, terus kenapa?”
Jawabku, lalu segera berlalu dari mereka yang tidak pernah mengerti dengan aktivitasku ini.
Setiap orang bisa meninggal kapan saja dan dimana saja. Jadi bukan alasan yang tepat untuk menjadikan kematian di atas gunung agar melarang kami kembali bersua dengan alam….
Hampir semua kelompok pencinta alam didominasi lelaki, karena kegiatan yang dilakukan memang identik dengan hal-hal yang membutuhkan ketangkasan, kemandirian dan keperkasaan menaklukkan alam. Kehadiran perempuan di kelompok pecinta alam karenanya masih sering mengundang pro dan kontra. Seperti halnya saya dan sejumlah teman perempuan yang juga memilih aktif di kelompok pencinta alam di Universitas Hasanuddin. Read the rest of this entry »
Recent Comments