You are currently browsing the monthly archive for February 2009.
Di dalam jiwa dan pikiranku ada kidung yang tak mampu mengalir seperti ketika jari-jariku menari di atas keyboard, ia hanya dapat menganggu dan mengetuk-ngetuk kesadaranku. Ia menggugah, membuncah dan lamat-lamat menjadi bongkohan gelisah yang menyesakkan dan hampir menyesatkan.
Di luar sana, hujan terdengar memandikan bumi, ia terus mengguyur, menghasilkan suara yang begitu khas. Dinginpun menyelimutiku. Padu hujan bersama angin bersenandung indah di tengah keheningan malam.
Ketika orang lain di rumah ini telah asyik bercanda dengan bantal guling dan mimpi-mimpi indah mereka, aku masih duduk di depan monitor, mencari jawaban atas banyak pertanyaan yang menggeliat liar di kepalaku. Berulang kali kupaksakan mataku terpejam tetapi tak jua ia mampu membawaku untuk larut bersama mimpi. Lelap terkalahkan pencarian jalan keluar dari gelap. Hingga aku pun kembali bangkit dan mencari harap.
Dan sekali lagi kutumpahkan luapan gelisah disini. Berjuang mendapatkan jalan keluar tanpa harus berbelok dan berlari. Menyadari bahwa semua harus dihadapi. Namun bersamaan dengan itu aku mengakui, bahwa aku telah terkunci dalam ruangan yang telah ku bangun sendiri.
Ada detak yang menjelaja di jantung hatiku
Terdengar riuh diantara kesunyian malam itu
Tersungging syahdu bersama waktu
Tubuh bajapun tertembus peluru
Ada yang terlihat berbinar di cakrawala gulita
Memanggil rasa untuk bercerita
Membuatku mengawang tanpa kata
Mencoba mereda gelombang yang tercipta
Seketika gundah menjilat-jilat
Hanya lengkungan di wajah yang coba tersaji cepat
Menggugah gelitik yang mulai berat
Tapi segera mengikatnya dengan erat
Sebuah lantun akhirnya bersembunyi
Tersimpan rapat di dalam naluri
Menjadi misteri hingga esok hari
Bertanya-tanya apa yang akan terjadi lagi
———————————————————–
dari sebuah coretan apa adanya
tak tau harus menulis apa….
Awalnya aku ingin membiarkan semuanya mengalir, seperti sungai yang merindukan muara dan akhirnya menemukan samudera. Meskipun ia meliuk-liuk tetapi tetap saja ada alur yang mesti ia ikuti.
Tetapi tiba-tiba saja aliran air itu menyebar mungkin kejatuhan sebuah batu besar. Alirannya yang semakin kencang pun terpercik. Percikannyapun ke semua arah. Basah.
Aku menunggu hingga ia menguap dan mengering. Namun rembesan itu mungkin terlalu dahsyat hingga membuatku harus menunggu lama. Aku terus menunggu. Namun penantianku membuatku larut. Hingga aku berpikir untuk tidak lagi melanjutkan alirannya.
Kemudian ada pikiran lain mengusikku… mengapa aku tidak terjun dan terseret arus saja dan membawa semua yang telah basah untuk ikut menari bersama alirannya hingga aku menemukan samudera.
Kadang kau bertanya, “kapan?” Disaat jiwamu terus berjuang untuk menembus penjara bawah sadar. Dikala prosesi menyanyikan kepedihan dan proses terseduh kebahagiaan. Maka tanpa kau sadari airmata membuat matamu terasa terbakar dan emosi membara membuatmu merasakan kesejukan.
Namun bila dalam labirin berpikirmu, kau hendak mengukur waktu itu maka biarkanlah hari ini memeluk masa lalu dengan kenangan dan mendekap masa depan dengan panantian
Dan “kapan” akan terjawab disaat kau sudah tenggelam dalam hangat keduanya….
Ada yang berbeda dengan takbir yang merembes subuh ini
Semakin menyayat ketika tahmid pun mulai bersemai
Aku mencoba menyelam kedalam puisi-puisi
Namun semakin aku selami
Semakin aku tertatih dan lunglai
Perih di setiap sel terasa menari-nari
Sukma terasa tertusuk belati
Dan tanpa kusadari airmatapun berderai
Berapa jauh jalan yang telah kujalani?
Berapa banyak waktu yang aku miliki?
Berapa banyak cita-citaku yang telah tercapai?
Berapa banyak yang telah kuraih?
Tapi selalu saja buatku tidak berarti
Tapi selalu saja tak disyukuri
Malah menggerutu dan mencaci
Meledaklah letup api
Bersama jumawa yang sering menghantui
Kontras dengan sejuknya pagi
Dan mengalir deraslah derai
Kembali kukumpulkan gairah yang terberai
Ketika kiblat menyentuh dahi
Menyiapkan diri
Kembali mengejar mentari
Aku selalu bahagia
Saat hujan turun
Karena aku dapat mengenangmu
Untukku sendiri
Aku bisa tersenyum
Sepanjang hari
Karena hujan pernah
Menahanmu disini
Untukku…
Lagu milik Utopia itu mengalun ditemani resonansi dawai gitar, bersaing dengan rinai hujan yang begitu ramai di luar sana. Musim hujan membuat lagu ini kembali tenar. Harmoni lirik dan musiknya terasa begitu familiar di telinga. Siapa saja menyanyikannya atau memperdengarkannya. Namun ada hal yang membuat saya bertanya-tanya di tengah riuh rendah orang menyanyikan lagu ini, apakah betul kita bahagia saat hujan turun? Bukankah kebahagian saat mendengarkan dan merasakan hujan turun hanya kata-kata puitis seorang penyair dan pencipta lagu?
Kali ini saya membagi beberapa catatan seputar kondisi jalan, pengguna jalan dan inisiatif warga di musim hujan. Read the rest of this entry »
Recent Comments