Puncak Bawakaraeng

Masih terang di ingatan kita, ketika Adiatma Achmad menghabiskan nafas terakhirnya di sebuah gunung yang cukup mistik di Sulawesi Selatan, Gunung Bawakaraeng. Mahasiswa UMI yang berasal dari Barru tersebut meninggal karena tidak sanggup melawan kedinginan di pos 8.

Belum genap tiga bulan berita itu menjadi perbincangan, kembali kita di gegerkan dengan berita meninggalnya 3 orang masyarakat di Gunung yang terletak di perbatasan Kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto dan Sinjai tersebut.

Adalah Farid, Sumiati dan Daeng Mangkulleng yang hendak melaksanakan Ritual Haji Bawakaraeng yang rutin di laksanakan kelompok tertentu pada Bulan Agustus dan hari menjelang Bulan Ramadhan. Namun sayang, mereka harus gugur di pos 13 sebelum tiba di tujuan mereka di Puncak Gunung Lompobattang.

Awalnya ada enam warga berangkat ke Bawakaraeng yakni Coa (23) dan istrinya Hasma (22), warga Paccarakang Daya, Makassar, Farid (25) dan istrinya Sumiati (25), warga BTP Blok D 313, Makassar, Hery, warga Makassar, dan Daeng Mangkulleng (40), warga Samata, perbatasan Gowa Makassar.
Daeng Mangkulleng merupakan penunjuk jalan yang akan mengantar kelima warga Makassar tadi.

Keenam orang ini melakukan pendakian di Gunung Bawakarang dan melanjutkan perjalanan ke Gunung Lompobattang. Pendakian dimulai pada Kamis, (18/8) malam. Mereka melakukan pendakian dari Desa Lembanna, Gowa. Selanjutnya, Kamis (21/8) pagi, keenam warga ini tiba di Pos Delapan, Gunung Bawakaraeng. Namun Hasma, istri Coa, tidak mampu lagi untuk melanjutkan perjalanan. Bersama Hasma dan Hery yang juga kecapaian, Coa tidak melanjutkan perjalanan dan kembali ke Makassar. Sementara Farid, Sumiati, dan Daeng Mangkulleng melanjutkan perjalanan.

Cuaca Buruk

Akhir-akhir ini cuaca di Gunung Bawakaraeng dan sekitarnya kurang bersahabat. Hujan keras beserta angin kencang serta kabut yang tebal cukup memakan energi. Apalagi bagi pendaki pemula yang tidak memiliki persiapan yang matang. Tiga orang yang pulang lebih dahulu menyerah di pos 8 dan memutuskan pulang ke Lembanna. Namun usaha Farid dan istrinya serta Dg Mangkulleng yang memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan di nilai sebagai usaha yang nekad.

Dg. Mangkulleng di duga jatuh di jurang dengan kedalaman 40 meter. Farid bersama istrinya Sumiati berusaha menolong tetapi mereka ikut tewas dan juga terporosok ke jurang hingga kedalaman empat meter.

Keadaan perjalanan antara pos 12 dan pos 13 memang cukup ekstrim. Jurang di kiri kanan mendampingi. Untuk kasus kabut tebal, jurang-jurang tersebut memang nyaris tak tampak. Apalagi ketika energi telah terkuras cuaca dingin dengan persiapan ransum yang kurang, dan jalan yang licin, maka terpeleset dan jatuh ke dalam jurang sulit untuk di elakkan.

Jika perjalanan mereka tersebut ingin mencapai ridho Allah dengan melakukan ritual Haji Bawakaraeng, maka bisa saja kematian tersebut di katakan Jihad. Tetapi jika perjalanan tersebut di nilai sebagai bentuk menduakan Allah, mungkinkah mereka meninggal dalam keadaan musyrik? Wallahualam